I want to enjoy mylife

source

"Benar, kamu yakin, kamu nggak mau lihat pengumuman? Siapa tahu nama kamu ada.” Tangan Mama bergerak dengan cekatan menguliti bersiung-siung bawang.

“Hmm, nggak usahlah .... Ujiannya susah sekali. Pasti namaku nggak keluar.”

Kadang-kadang aku berpikir, apakah keinginan orangtua yang diproyeksikan ke anaknya itu adalah murni—keinginan supaya si anak bahagia—atau merupakan bagian dari pencapaiannya sendiri? Begitu lulus SMA, hal yang kupikirkan hanyalah ingin mengistirahatkan otak. Sekolahku di Tanjung Duren itu, yang gedungnya bertingkat delapan, benar-benar seperti kamp militer ilmu yang menggodok habis murid-muridnya. Sel-sel abu-abu kami, meminjam istilah Hercules Poirot, digerus habis-habisan dengan tes, tugas, ulangan, dan PR. Tidak jarang tiga ulangan harus kami hadapi dalam sehari. Seperti tentara yang baru pulang dari Afghanistan, sewaktu menerima ijazah hatiku berteriak, “I WANT TO ENJOY MYLIFE!!!”

Makanya ketika Mama dengan semangat nyuruh-nyuruh aku mendaftar beasiswa ke Jepang, aku menganggapnya semu. Yang namanya beasiswa tentu harus lolos ujian, yang namanya ujian ... ujian? Please deh .... Aku baru menyelesaikan EBTANAS, UMPTN, ujian universitas swasta, psikotes, TOEFL, IELTS .... Kapan aku bisa benar-benar bebas?

Ujian untuk beasiswa Monbusho hanya boleh diikuti oleh 450 orang dengan nilai EBTANAS Murni (NEM) tertinggi dari seluruh pendaftar di Indonesia. Nomor urutku waktu itu 220. Sesuai dengan urutan NEM. Rasanya tidak ada harapan. Yah ... anggap saja ujian kali ini sebagai iseng-iseng. Belajar seperlunya saja. Toh masih ada sisa-sisa ilmu dari bangku SMA.

“Mama sih berharap kamu dapat. Mama dari dulu suka sama Jepang. Waktu jalan-jalan ke sana semuanya bersih. Apa-apa rapi. Mama juga suka sekali semua barang-barang Jepang. Kualitasnya bagus.”

Tuh kan! Kenapa bukan Mama saja yang ikut ujian! Bibirku kukatupkan rapat-rapat supaya tidak manyun di depan Mama. Panas rasanya kupingku. Kalau menurut nasihat Om Gibran untuk para orangtua, “You may give them your love but not your thoughts.” Nah ..., tapi mana mungkin Mama mau mengerti? Ya sudah. Cincay lah ....

Kriiing .... Kriing .... Telepon berdering dua kali.

"Angkat tuh.” Beginilah nasib lulusan SMA yang belum masuk kuliah dan nganggur di rumah. Pembantu merangkap pesuruh.

"Halo ..., bisa bicara dengan Silvi?”

"Iya, saya sendiri. Siapa, ya?”

“Ini Tante, mamanya Anna,” suaranya sayup-sayup. Pasti dari telepon umum.

“Oh iya, Tante, kenapa?”

“Selamat, ya! Nama kamu keluar di pengumuman! Ini saya lagi di Kedubes Jepang.”

“Hah! Yang bener, Tante! Nama saya ‘kan pasaran!”

“Lah ... ini Silvia Iskandar dari SMAK 1. Memang ada yang lain?”

“Mmm ... nggak ada sih,” aku masih ragu. “Nama Anna ada, Tante?”

“Waduh ..., nggak tuh. Ada 13 nama nih. Padahal Tante sampai bela-belain datang ke sini. Rumah Tante ‘kan jauh. Kamu sudah ke sini?”

“Eh ... hehehe ..., ya ... belum sih ...,” bau bawang putih yang tajam menguar dari jari-jariku. Bau yang bisa membuat kentut berbau busuk tiga kali lipat ini kelak selalu kuingat sebagai bau yang penuh berkat. Bau yang menentukan masa depanku.

“Ya udah ya, Tante cuma mau kasih tahu aja. Tante udah mau pulang nih. Selamat, ya!”

Mama jingkrak-jingkrak kesenangan. Aku termangu. Masak sih? Urutan ke-220 bisa dapat beasiswa?

Dengan hati meletup-letup dan jantung yang melompat-lompat kecil, kuteruskan mengupas bawang putih. Masih ada sekilo. Perjalanan masih jauh.

*cuplikan novel OMIYAGE karya Silvia Iskandar