16/05/11

Aek Sigeaon (sparks)


pict from here
Siang ini kami akan ke Aek si Rara.
”Tahu nggak, airnya air soda.”
“Masa?”
“Bayangkan saja pemandian yang rasa airnya adalah soda pekat. Kalau airnya tertelan, pasti terasa sakit di hidung, pedih di mata.”
Amazing,” desisnya. “Di Jepang pun tak ada yang seperti itu.”
“Terus,” lanjutku. “Di dalam kolam pemandian itu, ada aturannya. Kalau sedang mandi, dilarang mengucapkan kata-kata kotor.”
“Memangnya kalau tidak sedang mandi di kolam, kita boleh mengucapkan kata-kata kotor?” komentarnya.
“Oh, itu tertulis di kitab suci, ya?” sahutku.
“Memangnya kalau mengucapkan sesuatu yang kotor di sana, apa yang akan terjadi?” tanyanya kemudian.
“Akan ada sanksinya,” jawabku. “Mungkin jatuh sakit, kena sial, atau tulah.”
“Kalau begitu customerku yang suka memaki-maki akan kurekomendasikan mandi di situ,” usulnya.
“Setuju.”
Kami pun tiba di sana.  
Vomi terlihat menikmati pemandangan di sekitar kolam pemandian yang bagaikan kolam renang berwarna biru memantulkan warna langit itu, dengan hamparan sawah di sekitarnya, sejuknya cuaca dan segarnya udara alam, serta pemandangan menjulangnya Dolok Siatasbarita yang sungguh indah.
”Eh, kau mau mandi nggak di Aek Rara sana?”
”Maksud loe?” ujarnya sinis.
”Oh aku lupa, kau pasti kena tulah kalau habis mandi di sana.”
“Kurang ajar!”
Aku tertawa. “Tuh kan, belum mandi di sana saja sudah memaki-maki.”
Dia tertawa.
“Mendingan mandi di Aek Sigeaon daripada di situ,” ujarnya kemudian.
“Kau mau ke Aek Sigeaoan?” tanyaku. “Itu di belakang rumah ompungku persis di Pasar Sirongit.”
“Yuk kesana,” ajaknya bersemangat.
...
Kami pun tiba di tepi Aek Sigeaon.
Kubantu dia naik dengan menarik tangannya.
Lalu kami duduk di tepi tanggulnya, sambil menikmati pemandangan air di sungai Sigeaon yang sudah mulai surut dan keruh.
...
“Masa SMP, aku sering mandi di sini,” kenangku. 
...
“Oh ya, sekali sebulan kami juga menangkap ikan di empang.  Kami biasanya keluar rumah jam dua pagi untuk membuka pintu air. Dini hari ketika fajar menyingsing, kami sudah asyik menangkap dan memasukkan ikan ke tempat yang sudah disediakan. Begitu mendekati jam tujuh, kami segera mandi dan berangkat sekolah. Tahu nggak, sekali waktu, Pak Galung memanggil aku dan bilang begini: ’Sini bentar, Tunggul. Di empang mana sih kamu main, kok banyak lumpur di kupingmu’.”
Belum selesai aku tertawa, dia sudah mencela. “Berarti kamu mandinya tidak bersih.”
”Tepatnya aku memang tidak mandi. Puas?” bantahku.
Dia tertawa. Hahaha... 
Ikan hasil tangkapan itu biasanya dijual oleh Ompung ke Pasar Sirongit atau ke pasar di Tarutung.”
“Cerita yang indah,” komentarnya asal. “Nggak ada cerita yang lebih menarik lagi?”
“Mau yang lebih menarik?” tantangiku.
Dia menyambut dengan antusias. Aku ingin menceritakan sesuatu yang mungkin akan membuatnya terganggu.
”Di SMP aku pertama kali mengenal getar cinta,” tuturku.
Vomi segera menoleh dengan tatapan, entah gabungan jijik, geli, atau tidak percaya.
...
“Kebanyakan akhir pekan kuhabiskan untuk camping atau latihan pramuka.  Banyak kejadian asyik selama pramuka, termasuk berbagai skandal percintaan. Kau tidak pernah mendengar soal itu?”
”Pernah. Setelah aku SMA.”
”Hei. Kau sama sekali tidak terganggu dengan ceritaku mengenai hal seperti itu?”
”Terganggu?” ulangnya. ”Kau hidup di masa lalu atau masa kini, Tumpul?”
Aku menarik nafas lega.
”Senang mendengarnya,” desisku.
”Lagipula kau kan sudah mengaku bahwa akulah cinta sejatimu.”
Aku menoleh dan menahan senyum. Dia juga menahan senyum. Tiba-tiba aku iseng ingin menjahilinya, dengan mencolek pinggangnya.
Tapi refleksnya sungguh cepat. Sebelum tanganku menyentuh pinggangnya, dia sudah menghindar. Dan menghindar terlalu jauh. Jauh. Sampai dia terpeleset dan kecebur ke dalam air!
Dia menjerit. Aku menahan tawa, sebelum meloncat menyusulnya. Kulihat mukanya pucat sekali.
Dia memegang tanganku erat-erat.
”Aku nggak bisa berenang,” ujarnya sambil terengah-engah.
Pantas mukanya panik setengah mati, padahal tinggi air hanya sekitar satu meter.
”Maaf ya, Vomi, aku nggak sengaja,” ucapku sambil membantunya naik ke atas tanggul.
Kupegang tangannya dan kutahan punggungnya.
Tapi dia tak bergeming. Dia hanya menatapku. Agak lama kami hanya terdiam, dan saling berpandangan. 
”Menikahlah denganku,” desisku kemudian.
Begitu saja, spontan keluar dari mulutku, tanpa kurencanakan.
...
Dan sebagai jawabannya, tiba-tiba, tanpa kuduga, Vomi mendorong dan menghempaskanku ke dalam air.
Dan dia tergelak-gelak melihatku tercebur.
”Menikah sama putri duyung sana," serunya lalu terbahak-bahak. "Hahahaha...”

6 komentar:

Meita Sandra mengatakan...

nice story ^^

Mino mengatakan...

thank you...

Ulfa Zulia mengatakan...

cerpen kakak bagus ;D

Mino mengatakan...

terima kasih, ulfa,
sebenarnya itu bukan cerpen tapi salah satu bab/kutipan dari novel SPARKS (-:

Anonim mengatakan...

Nice Story !!!
Hei, Aek Sigeaon sounds so familiar to me :-)
Thanks Min, udah angkat Aek Sigeaon di Novel elo. Jangan terlalu lama ngangkatnya, ntar tumpah airnya, hahaha

Mino mengatakan...

@tomos, hahaha, cape kaleeee...

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...